WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Jumat, Maret 27, 2015

Pegiat Lingkungan: Moratorium Perizinan Hutan dan Lahan Gambut Harus Dilanjutkan


Para pegiat lingkungan hidup di Sumatera Selatan (Sumsel) mendesak pemerintah meneruskan moratorium perizinan di hutan dan lahan gambut oleh aktivitas perkebunan, pertambangan, dan hutan tanaman industri lantaran mengancam kelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan Inpres No.6 Tahun 2013, moratorium akan berakhir pada 12 Mei 2015.
Moratorium harus dilanjutkan. Tapi bukan berdasarkan waktu, melainkan hasil,” kata Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, dalam Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) Menimbang Pelaksanaan Moratorium, di Palembang, Senin (23/03/2015).
Artinya, moratorium tersebut benar-benar dilakukan pada wilayah yang terancam lingkungannya. Bukan pada wilayah yang sudah dilindungi oleh undang-undang (UU) atau aturan yang berlaku.
Misalnya, kata Hadi, di Sumatera Selatan, ada perkampungan, lokasi transmigran, kawasan konservasi, kawasan gambut di atas tiga meter, yang dimoratorium. “Itu kan tidak perlu dimoratorium lagi, sebab sudah dilindungi UU.”
“Contoh dekatnya adalah Suaka Margasatwa Dangku di Kabupaten Musi Banyuasin yang dimoratorium. Itu kan sudah jelas merupakan wilayah dilindungi UU sebagai kawasan konservasi,” kata Hadi.
Selain itu, jika moratorium dilanjutkan, maka penegakan hukum harus benar-benar dijalankan. “Selama ini penegakan hukum, seperti yang dibebankan pada BP REDD+ serta lembaga-lembaga yang diberi tanggung jawab persoalan moratorium, tidak menjalankannya secara optimal,” kata Hadi.
Selanjutnya, wilayah yang akan dimoratorium harus dimasukan ke rencana tata ruang wilayah (RTRW), sehingga kebijakan ini benar-benar berjalan sampai tingkat daerah. “Percuma kalau dimoratorium, tapi tidak dimasukan RTRW. Sebab, perizinan dikeluarkan berdasarkan RTRW,” jelas Hadi.
Ekologi, korupsi, hingga konflik sosial
Nunik Handayani dari FITRA Sumsel, mengatakan moratorium penting dilanjutkan, sebab hingga saat ini, Indonesia khususnya Sumatera Selatan, masih terancam oleh bencana ekologis seperti air yang kering saat kemarau dan banjir kala penghujan serta kebakaran, yang diakibatkan oleh aktivitas perkebunan, pertambangan, dan HTI.
Faktor berikut, pentingnya moratorium adalah kemungkinan adanya tindak korupsi dalam pembuatan izin baru. “Indikasinya, sulitnya akses informasi atau tidak transparansnya pemerintah terkait perizinan perkebunan, pertambangan, dan HTI,” ujar Nunik.
Begitu juga dengan Muhammad Syarifuddin dari Yayasan SPORA. Menurutnya, moratorium harus dilanjutkan sebagai upaya mengurangi konflik sosial. “Eksplorasi sumber daya alam (SDA) telah menimbulkan sengketa tanah, perubahan perilaku masyarakat desa, yang sebelumnya arif terhadap lingkungan menjadi lebih merusak alam, konsumtif, dan menimbulkan banyak tindak kriminalitas,” katanya.
“Coba perhatikan kondisi masyarakat di sekitar perkebunan dan pertambangan. Semua itu akan terasa. Padahal sebelum adanya aktivitas perkebunan dan pertambangan, kehidupan mereka aman, sejahtera dan damai,” ujar Syarifuddin.
Lebih jauh Syarifuddin berpendapat, sebenarnya inti persoalan lingkungan hidup di Indonesia, dikarenakan pembangunan berbasis eksplorasi SDA. “Seharusnya, pembangunan berbasis jasa terhadap potensi SDA yang ada bukan eksplorasi,” ujarnya
Selengkapnya...

Selasa, Maret 24, 2015

Cegah Alih Fungsi Lahan Pangan di Sumatera Selatan Tidak Cukup dengan Perda

Jaminan ketersediaan pangan merupakan persoalan serius bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia. Tidak stabilnya harga jual, mahal dan langkanya pupuk bersubsidi, hingga cuaca tak menentu merupakan persoalan yang dihadapi petani pangan. Akibatnya, mereka mulai meninggalkan sawah maupun ladang dan mulai melirik produk perkebunan.
Kondisi ini terungkap dalam talkshow bertema ‘Inisiatif Daerah untuk Melindungi Lahan dan Produk Pangan Lokal’, yang digelar Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan di Palembang, Minggu (1/3/2015). Hadir sebagai pembicara Muhammad Rifai (Wakil Bupati Ogan Komering Ilir), Beni Hernedi (Wakil Bupati Musi Banyuasin), Abetnego Tarigan (Direktur Eksekutif Walhi Nasional, dan Giri Ramandha (Ketua DPRD Sumsel).
Muhammad Rifai menyatakan bahwa daerahnya telah memiliki peraturan daerah (perda) mengenai alih fungsi lahan yang telah disahkan 2012 lalu. Menurutnya, perda tersebut telah berjalan walaupun masih ada saja masyarakat yang mengalihfungsikan lahan pangannya.
Rifai menjelaskan, berdasarkan analisa pertanian, menanam padi sebenarnya lebih menguntungkan daripada karet. Namun, lanjut Rifai, uang penghasilan dari karet atau sawit lebih cepat diterima petani ketimbang dari sawah yang dalam setahunnya hanya satu atau dua kali. “Ini masalah yang masih dicarikan solusi,” ujarnya.
Beni Hernedi menuturkan Pemerintah Musi Banyuasin telah mendorong peningkatan produksi pertanian dengan membenahi jaringan tata irigasi mikro dan memoderenisasi peralatan pertanian. Serta, mengawasi lahan-lahan pangan agar tak beralih fungsi.
Menurut Beni, pihaknya telah membatasi dan tidak lagi memberi ijin perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) di daerah produksi pangan. “Saat ini, tengah disiapkan perda yang mengatur larangan alih fungsi lahan pertanian.”
Perlu insentif dan konsistensi
Menurut Abetnego Tarigan, saat ini di Indonesia pengembangan kawasan industri, permukiman, perkebunan, dan pertambangan yang berada di sekitar kawasan pertanian telah banyak menggusur kawasan produksi pangan.
“Di seluruh Indonesia, sekitar 500 ribu sampai satu juta hektar telah terjadi alih fungsi lahan produksi pangan. Di Pulau Jawa, alasan utamanya adalah untuk pengembangan kawasan industri dan perumahan. Sementara di luar Jawa, tujuannya untuk perkebunan dan pertambangan,” ujar Abet.
Oleh karenanya, menurut Abet, pemerintah harus memikirkan bagaimana melindungi lahan pertanian. Tak hanya mengeluarkan peraturan daerah yang melarang petani merubah fungsi sawahnya, melainkan juga memberikan insentif kepada petani. “Misalnya, pemilik lahan pertanian dikenakan pajak yang jauh lebih murah daripada lahan yang telah dialihfungsikan. Perlindungan ini sangat penting.”
Sementara Giri Ramandha mengatakan konsistensi dalam penegakan peraturan harus dilakukan. Menurutnya, kalaupun payung hukum alih fungsi lahan sudah ada, terkadang kendala dalam penegakan peraturannya yang belum konsisten.
Misal, suatu daerah yang dalam rencana tata ruang wilayahnya telah menetapkan 100 ribu hektar sebagai lahan produksi pangan, tiba-tiba di tahun berikutnya muncul peraturan lain yang bertentangan. Sehingga, lahan produksi terus berkurang.
Parade pangan lokal
Selain talkshow, pada acara tersebut digelar juga parade olahan pangan lokal yang terbuat dari  singkong, ketan, jagung, pisang, hingga kacang-kacangan. “Kita ingin mengingatkan publik pentingnya pangan lokal. Kita juga ingin mengingatkan pemerintah dan masyarakat luas agar alih fungsi lahan pangan menjadi lahan pertambangan, perkebunan, dan industri tidak perlu terjadi lagi,” ujar Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan (Sumsel).
Iyus, ibu rumah tangga warga Bukit Kecil Palembang, yang turut berpartisipasi mengatakan banyak sumber pangan lokal yang dapat diolah menjadi kuliner sehat bergizi. “Harus dipromosikan, sehingga pangan lokal semakin berkembang. Jika diolah dengan kreatif, tampilan pangan lokal dapat menarik dan tak kalah dengan kuliner luar.”
Sementara Angraini, petani perempuan asal Desa Lubuk Sakti, Kabupaten Ogan Ilir, mengatakan kelompok taninya yang tergabung dalam Tani Bunga Rampai senang mendapatkan kesempatan ini. “Kami membawa keripik pisang, dodol ketan rasa durian, kue semprong dari beras, dan lain-lain. Semua bahannya dari kebun sendiri,” ujarnya.

Selengkapnya...

Walhi Desak KPK Usut Korupsi SDA di Sumsel

JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Selatan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut beberapa dugaan korupsi yang dilakukan sejumlah pejabat Sumsel dalam sektor sumber daya alam (SDA).
Hal tersebut diungkapkan Hadi Jatmiko selaku Direktur WALHI Sumsel, saat melakukan aksi damai bersama puluhan WALHI se Indonesia didepan gedung KPK.
Menururnya saat ini, banyak sekali terjadi tindak pidana suap dan gratifikasi yang dilakukan oknum pejabat untuk memuluskan perusahaan mendapatkan izin, bahkan ada beberapa perusahaan mendapatkan izin didalam hutan konservasi tanpa melalui izin Kementrian Kehutanan.
"Dua bulan lalu kita sudah melapor ke KPK ada oknum pejabat Kabupaten di Sumsel diduga menerima suap dalam memberikan izin," ujar Hadi digedung KPK, Jumat (13/3/2015)
Menurutnya, sumber daya alam bukan hanya di Sumsel, tapi seluruh Indonesia perlu segera diselamatkan. Saat ini KPK sangat perlu didukung untuk terus konsen dalam memberantas korupsi, karena saat ini banyak sekali mafia tambang, mafia hutan, mafia kebun dan mafia SDA-SDA yang lain.
"Kami datang untuk mendukung dan mendesak KPK untuk terus memberantas korupsi, terutama dalam sektor SDA," pungkasnya.
Adapun proses hukum yang diharapkan oleh rakyat untuk dilakukan pemerintah, dikatakan Hadi adalah mempidanakan pemilik perusahaan, ganti rugi, mencabut izin dan menyita seluruh aset yang dimiliki perusahaan, guna menganti semua kerugian yang dialami pemerintah, rakyat dan lingkungan hidup. Baik kerugian langsung maupun tidak langsung.
"Pemerintah seharusnya memproses secara hukum perusahaan penjahat lingkungan hidup sesuai Undang-undang Lingkungan Hidup (UU 32 Tahun 2009) dan undang-undang sektoral lainnya, baik UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan," tuturnya.

sumber berita : http://palembang.tribunnews.com/2015/03/13/walhi-desak-kpk-usut-korupsi-sda-di-sumsel 
Selengkapnya...

Kamis, Maret 05, 2015

Usut tuntas pembunuhan anggota serikat petani tebo,cabut izin PT. WKS Asia Pulp and Paper

Pers Release
Usut tuntas pembunuhan terhadap anggota serikat Petani Tebo, cabut izin PT. WKS (APP) penjahat kemanusian dan Lingkungan hidup
(Palembang,5/3) 28 Februari 2015 kembali mendapatkan kabar duka salah satu anggota Serikat Petani Tebo. Ormas tani yang memperjuangkan petani di Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Kabupaten Tebo. Indra Peilani Pria yang baru berumur 21 tahun ditemukan tewas dibunuh secara biadab oleh Unit reaksi cepat security PT. WKS. Indra yang keseharian merupakan tokoh pemuda yang selalu ikut serta dalam memperjuangkan ha k atas tanah bagi rakyat di Desa Mandrasah Tewas dengan luka Tusuk, tubuh penuh lebam, kepala pecah, Mulut tertutup dan kedua tangan terikat (Kronologis lengkap terlampir).
Kejadian ini sehari menjelang diadakannya Panen raya masyarakat Desa Lubuk Mandarsyah kabupaten tebo, dilahan mereka yang di klaim oleh perusahaan berada didalam konsesi perusahaan.
Walhi Sumsel menduga kematian Indra Peilani merupakan buntut dari konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PT. Wira Karya Sakti, merupakan perusahaan milik Asia Pulp and Paper (APP), yang telah berlangsung bertahun tahun tanpa ada penyelesaian dari pemerintah. Tragedi Tewasnya petani yang memperjuangkan lahannya yang dirampas PT. WKS bukanlah yang pertama karena pada agustus 2010 lalu Ahmad adam (45 thn) merupakan petani Tanjung Jabung pun tewas di tembak oleh BRIMOB Polda Jambi, yang sedang melakukan pengamanan terhadap konsesi perusahaan PT. WKS yang berkonflik dengan masyarakat setempat.
Walhi sumsel mengutuk keras atas perbuatan biadab dan tidak berperikemanusian yang dilakukan pasukan pengamanan PT. WKS terhadap Indra Peilani, Walhi Sumsel meminta aparat kepolisian POLDA JAMBI bekerja serius dengan tidak hanya menghukum pelaku pembunuhan tetapi juga otak dibalik kejadian.
Selain itu KOMNAS RI kami desak untuk berperan aktif melakukan penyidikan atas kasus ini yang diduga terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Perusahaan melalui pihak keamanan perusahaan.
Ketimpangan kepemilikan lahan antara masyarakat dengan Perusahaan akibat praktek Obral pemberian izin di Indonesia baik di daerah maupun nasional, terus akan memicu konflik Agraria yang diikuti korban jiwa di Pihak masyarakat/Petani. Dikarenakan perusahaan dalam melakukan penyelesaian konflik selalu menggunakan pendekatan aparat keamanan bersenjata, seperti Kepolisian maupun Para militer.
Hadi jatmiko Direktur Walhi Sumsel memandang Perusahaan milik Asia Pulp And Paper dalam praktek penguasaan lahan tidak hanya bermasalah di sector Agraria (Lahan) dan kemanusian. Tetapi juga melakukan kejahatan terhadap Lingkungan Hidup, kebakaran Hutan dan lahan di Riau,Jambi dan Sumatera selatan. Sehingga pemerintah dalam hal ini kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dapat mengevaluasi segala perizinan milik asia Pulp and paper yang ada di Indonesia salah satunya di Sumsel dan mencabut izin izin perusahaan APP yang bermasalah baik yang melakukan kejahatan Kemanusia, Agraria dan Lingkungan Hidup. Selain bahwa proses Hukum pidana atas tindakan yang dilakukan Perusahaan harus segera di bawah ke ranah Pengadilan sebagai bentuk penegakan Hukum yang diatur dalam undang undang yang berlaku di Indonesia.
Agar hal ini tidak terjadi di Sumsel maka pemerintah di Sumatera selatan baik kabupaten maupun propinsi harus berperan aktif menyelesaikan konflik konflik agrarian yang terjadi di Sumatera selatan yang berpihak terhadap rakyat dan lingkungan hidup, juga menginggatkan perusahaan untuk tidak menggunakan cara cara Biadab dan kekerasan dalam menghadapi masyarakat yang menuntut Hak atas Lahan dan Lingkungan Hidup yang sehat, karena jika peran aktif ini tidak dilakukan oleh pemerintah maka hal serupa bisa saja terjadi di Sumatera selatan tidak hanya pada perusahaan HTI (kebun kayu akasia) tetapi juga perkebunan, pertambangan, karena Sumsel punya sejarah kelam akan hal ini seperti Konflik masyarakat SODONG vs PT. SWA Kabupaten OKI yang sampai saat ini belum terselesaikan.
Selesai.

Hadi Jatmiko Walhi Sumsel          0812 731 2042


Selengkapnya...

Usir PT. Musi Hutan Persada dari desa Merbau yang mengusur dan merampas tanah rakyat

Pernyataan Sikap Walhi Sumsel dan Serikat Petani Sriwijaya (SPS)

Aksi serikat petani Sriwijaya dan Walhi sumsel di Pemkab OKU menuntut pemerintah menghentikan pengusuran tanah rakyat yang dilakukan oleh PT. Musi Hutan Persada terhadap Perkebunan rakyat desa Merbau Kabupaten OKU


“Tanah tidak Boleh Menjadi Alat Penghisapan, apalagi Penghisapan Modal Asing Terhadap Rakyat Indonesia”(Soekarno)
“Forest to Pople (Hutan untuk Rakyat); Kita Menginginkan agar Peruntukan Hutan bagi Kesejahteraan Rakyat – Untuk itu Pemerintah Saat ini tengah Mendemokratisasi Sistem, agar Keberadaan Hutan Bermanfaat Luas untuk Kesejahteraan dan Keadilan Rakyat”  (Siti Nurbaya; Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Konflik agraria (lahan) merupakan satu situasi yang terus terjadi hingga saat ini. Secara Nasional, Konsorsium Agraria (KPA) mencatat di tahun 2014 terjadi 472 konflik agraria structural di seluruh Indonesia, dengan jumlah korban sebanyak 19 orang tewas, 17 orang tertembak, 256 orang ditahan, dimana jumlah konflik structural tersebut meningkat dari tahun 2013 sebanyak 369 konflik.
Dalam konteks lokal Sumatera Selatan, berbagai konflik agraria juga terus menyelimuti daerah ini. Berbagai kasus agraria yang mencuat seperti Cinta Manis Ogan Ilir, Sodong (OKI), merupakan bahagian cerita potret agraria yang terjadi. Terlihat, atas situasi konflik yang berlarut-larut penyelesaiannya, tidak sedikit kerugian yang harus diderita rakyat, baik kehilangan tanahnya, kehilangan nyawa, dan lain sebagainya hanya demi mendapatkan kembali atau mempertahankan tanah sebagai sumber kehidupan dan masa depannya.
Terhadap persoalan yang kami kemukakan kali ini, yaitu konflik agraria antara masyarakat Desa Merbau Kecamatan Lubuk Batang Kabupaten OKU seluas 3.858 Ha dengan PT. MHP. Konflik ini berlansung sejak tahun 1991, yang dimulai dengan penggusuran-penggusuran terhadap tanah rakyat. Dengan janji hanya melakukan survey, PT. Musi Hutan Persada (MHP) sejak tahun 1993 telah melakukan pematokan dan penggusuran  terhadap areal kelola rakyat yang telah menjadi areal pertanian dan perkebunan, juga pemukiman rakyat.
Dalam hal ini PT. MHP telah melakukan berbagai pelanggaran, baik sebagaimana tertuang di dalam konsesi yang di dapatkan, yakni dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 38/Kpts-II/1996, diktum Kedua Angka 12 “Membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar areal kerjanya”, diktum Keempat Angka 1 “Apabila di dalam areal HPHTI terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut tidak termasuk areal kerja HPHTI”.
Atas situasi tersebut, dengan ini kami menuntut kepada Pemerintah Kabupaten OKU dan DPRD OKU, agar menekan kepada PT. MHP untuk:
1.    Menghentikan penggusuran terhadap tanah rakyat yang berada dalam wilayah Desa Merbau seluas 3.858 hektar
2.     Mengembalikan tanah rakyat yang telah digusur oleh PT. MHP
3. Tidak melakukan kekerasan dan pengkriminalisasian terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya yang digusur oleh PT. MHP  
Demikianlah tuntutan ini kami sampaikan, untuk dapat dipenuhi demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.


OKU, 3 Maret 2014


Contact Person :
Hadi Jatmiko Walhi Sumsel : 0812731 2042
anwar sadat Serikat Petani Sriwijaya : 0812 7855725

Selengkapnya...