WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Selasa, November 22, 2016

Largest NGO says APP peat fires deliberately set for replanting purposes

Indonesia’s largest environmental NGO, WALHI (Friends of the Earth Indonesia), has emphatically stated that last year's widespread peat fires in Asia Pulp and Paper (APP)'s pulpwood concessions were intentional. Proof of this, WALHI asserts, lies in the fact that these burned peatlands have now been replanted with acacia by the giant pulp company.
According to the leading NGO, the use of burned peatlands for the replanting of acacia is a move aimed at pursuing targets, given that the acacia yielded from this replanting will later become a source of fiber supply for the new APP company, PT OKI Pulp and Paper Mills. This new mill, which has begun operations, is located in the vicinity of the burned peatlands in the APP concessions, major parts of which were burned last year.
This damning opinion was delivered by the Executive Director of WALHI South Sumatra, Hadi Jatmiko, to foresthints.news on Friday (Nov 18) when asked for his reaction to the results of monitoring performed recently by Indonesia's Environment and Forestry Ministry.
The monitoring clearly shows that the APP concessions operating in Ogan Komering Ilir (OKI) regency, in South Sumatra province, have replanted burned peatlands in direct contravention to a ministerial regulation issued in mid-December last year.
Hadi expressed his gratitude for the ministry’s actions in the form of on-the-ground monitoring, which demonstrated the extent of incompliance on the part of the APP companies, to the point where they have brazenly replanted acacia in burned peatlands in clear violation of existing regulations.
“We appreciate the monitoring conducted by the ministry. However, we also urge the ministry to apply maximum law enforcement efforts so that these types of practices are never repeated. This is even more important considering that the burned peatlands in the APP concessions are dominated by peat domes.”
The following photos, which were taken from video footage which formed part of the ministry’s monitoring of the APP concession PT BMH, illustrate ongoing business-as-usual practices in the burned peatlands. In August this year, the High Court of Palembang declared that this company had committed an unlawful act with respect to peat fires in 2014.
Peat agency criticized
Hadi argued that the blatant replanting of acacia in burned peatlands located in APP concessions exemplified the fact that the monitoring function of the Peat Restoration Agency (BRG) was not operating.
“The case of these APP companies replanting burned peatlands reveals that the BRG is not performing proper monitoring, and therefore not fulfilling its function.”
According to WALHI data, 400 thousand hectares of peatlands were burned in 2015 in South Sumatra province, the vast majority of which were in concession areas. APP pulpwood concessions made up a significant proportion of these.
“The BRG’s monitoring is not clear. Its peat restoration focus is also unclear. The agency doesn’t appear to be focusing its peat restoration efforts in concession areas. This has actually emboldened APP and other companies to carry out replanting of burned peatlands and drained peat domes,” Hadi lamented.
Considering that the majority of APP concessions situated in peatlands in South Sumatra are found in peat domes, and that these have already been mapped as peat restoration target areas, Hadi made a vociferous appeal for the ministry and BRG to provide full protection to the peat domes concerned, using legal means which involve communities in their management.
He also asked the ministry to review the permits of the APP companies in question, bearing in mind that most of the APP concessions in these peatlands are located in peat domes and deep peat.
“This request of ours is consistent with both existing regulations as well as the government’s current commitment to protecting peat domes, including deep peat,” Hadi explained.
As previously reported by foresthints.news, President Joko Widodo has consistently reasserted his position that the government will not back down in carrying out law enforcement against any party which commits peatland-related violations.

Sumber : http://foresthints.news/largest-ngo-says-app-peat-fires-deliberately-set-for-replanting-purposes
Selengkapnya...

Jumat, November 18, 2016

Walhi Sumsel : Penurunan Emisi Tanpa Penegakan Hukum = Bohong!

Menyikapi Lemahnya penegakan Hukum terhadap Kejahatan Lingkungan Hidup dan COP 22 di Maroko

Aksi Aktifis Lingkungan Walhi dan Sahabat Walhi Sumsel : PT. BMH Penjahat Iklim !
Palembang, 18 November 2016. Meningkatnya krisis lingkungan hidup yang berdampak pada maraknya bencana ekologis dan menurunnya kualitas kesejahteraan masyarakat, membutuhkan komitmen yang serius dari seluruh pihak untuk menghentikannya. WALHI Sumsel melihat komitmen tersebut belum serius dan lamban. Sebagaimana kita ketahui, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatera Selatan telah menjadi “musim” langganan selain musim penghujan dan kemarau. Karhutla juga merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca terbesar yang berasal dari industri berbasiskan lahan(land base industry), selain industry-indutri yang menggunakan energi fosil (batubara).

Pada pertemuan Conference of Parties (COP) tentang perubahan iklim ke 21 di Paris tahun 2015 lalu, kasus Karhutla di Indonesia cukup menjadi perhatian. Namun korporasi (pelaku kejahatan pembakaran) mampu mengintervensi pertemuan tersebut, sehingga tidak ada langkah signifikan dan nyata untuk menyelesaikan persoalan. Hingga pada hari ini, dimana sedang berlangsungya COP 22 di Maroko, penegakan hukum juga tidak menjadi agenda utama oleh pemerintah Indonesia. 

Belum lepas dalam ingatan masyarakat, Pengadilan Tinggi Palembang pada 12 Agustus 2016 memenangkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas PT. Bumi Mekar Hijau di tingkat banding . Meskipun memenangkan KLHK, namun putusan tersebut jauh dari tuntutan kementerian (Negara) terkait jumlah ganti rugi untuk pemulihan lingkungan dan rasa keadilan untuk masyarakat. Paska putusan tersebut, KLHK mengatakan akan mengajukan kasasi di sejumlah pemberitaan media massa. Namun, hingga kini,rencana dan upaya tersebut belum juga dilakukan. Tentunya sikap ini menjadi pertanyaan besar bagijutaan masyarakat korban baik di sumsel maupun di Indonesia pada umumnya. Apakah ini sebuah kelambanan atau menerima begitu saja dengan keputusan Pengadilan Tinggi Palembang.

Hadi Jatmiko, Direktur Eskekutif WALHI Sumatera Selatan mendesak KLHK untuk segera melakukan kasasi, untuk membuktikan bahwa komitmen Indonesia sungguh-sungguh dalam melawan kejahatan lingkungan hidup. Sebagaimana kita tahu, di Indonesia kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu sumber emisi rumah kaca terbesar. Dimana pelakunya adalah Industri Kehutanan (HTI) dan Perkebunan kelapa sawit.

Praktek buruk industri perkebunan monokultur baik perkebunan sawit maupun pulp and paper (HTI) tidak bisa dilepaskan dari rantai pasok yang melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia. Sebagaimana kita ketahui mereka tidak berdiri sendiri. Melainkan didukung oleh banyak hal, seperti paket kebijakan yang tidak berpihak pada masa depan lingkungan hidup dan manusia didalamnya, lembaga-lembaga keuangan, dan politik internasional yang tidak adil dalam melakukan perlindungan terhadap sumber daya alam.

Di sektor energi, komitmen Inondesia juga sangat lemah. Kebijakan Jokowi untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan masih jauh dari harapan. Sumatera Selatan misalnya, proses pembangunan PLTU mulut tambang terus dalam proses pembangunan.  Dengan demikian, pola pembangunan industry ekstraktif melalui batubara masih menjadi pilihan politik kebijakan rezim saat ini. Dapat dipastikan Nawacita Jokowi-JK dalam kedaulatan energi akan mengalami kegagalan, karena masih ketergantungan dengan penggunaan energy fosil kotor (batubara) yang merusak Lingkungan hidup dan mengancam keselamatan Rakyat .

Selain menjadi korban, rakyat hanya dijadikan penonton yang tidak memiliki kewenangan apapun. Tentunya ini disebabkan oleh system politik nasional dan daerah yang juga melanggengkan penindasan secara turun menurun. Padahal, banyak komunitas-komunitas masyarakat yang memiliki praktik yang arif dalam pengelolaan ligkungan hidup. Meskpiun sama sekali tidak tersentuh oleh kehadiran Negara (mandiri) dan terus mengalami keterancaman terhadap ruang hidup, pangan, sosial dan budaya.  

Penurunan emisi adalah salah satu bentuk penyelamatan lingkungan hidup, namun tidak akan berhasil jika penegakan hukum tidak dilakukan dan didahulukan kepada industry perkebunan dan kehutanan serta Industri ekstratif pertambangan. Karena itu merupakan hal yang mendasar dalam memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dan lingkungan hidup, juga dapat memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku kejahatan tersebut. Pemerintah juga harus segara berhenti melakukan pembangunan energy kotor dan beralih ke energy bersih.
Selengkapnya...