WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, Agustus 24, 2016

Kaburnya Hukum dalam Kabut Asap Kasus Karhutla

Citra Satelit yang menunjukan kebakaran Hutan dan Lahan yang terjadi di PT. BMH pada 2014. (Diolah Walhi Sumsel)


Jakarta-Tahun 2015 pembakaran hutan dan lahan meimnulkan titik api sebanyak 129.000 di seluruh Indonesia, merampas kemardekaan 40 juta penduduk atas udara yang bersih, mengakibatkan kematian 21 orang dan menghentikan aktivitas ekonomi sosial setidaknya 9 provinsi.
Per-Oktober 2015, POLRI menetapkan 247 tersangka. Sebanyak 230 tersangka perseorangan dan 17 korporasi, dari 262 laporan yang diterima. Sedangkan KLHK melakukan pembekuan izin terhadap 16 perusahaan, pencabutan izin  perusahaan serta 10 kasus gugatan hukum. Sementara, perusahaan yang teridikasi terlibat dalam kebakaran massif tahun 2015 mencapai 446 entitas perusahaan yang terdiri dari 308 perusahaan sawit, 71 perusahaan HTI dan 60 perusahaan HPH.
Dalam pandangan WALHI, penegakan hukum menjadi syarat mutlak untuk dapat dilaksanakan pemerintah secara masive, untuk menjalankan kewajibannya memberikan rasa aman dan perlindungan  hak dan akses konstituennya terhadap lingkungan yang baik dan sehat. Selain itu penegakan hukum diharapkan  dapat dijalankan dengan serius dan sistematis untuk dapat menemukan fakta fakta bagi pemerintah dan publik, agar dapat menemukan modus operandi dan solusi nyata bagi penghentian kejahatan lingkungan.
Hanya saja dalam prosesnya, penterjemahan intruksi Presiden dalam pelaksanaan penegakan hukum masih jauh dari dari fungsinya sebagai panglima pemenuhan rasa adil bagi rakyat, justru kemudian menjadi bagian yang digunakan oleh korporasi menjalankan skenario penggunaan api untuk menggusur hak dan akses rakyat terhadap ruang dan sumber dayanya, dan menyasar pelaku utamanya adalah masyarakat.  Di level daerah, Instruksi Presiden untuk mengurangi kebakaran dan kabut asap telah ditumpangi agenda korporasi, bekerjasama dengan aparatus daerah untuk membebaskan diri dari tuduhan sebagai penjahat lingkungan. Pemerintah menegasikan 60% penduduk Kalimantan Barat adalah petani dan Masyarakat Adat. Kapolda Kalimantan Barat mengeluarkan maklumat pelarangan membakar bagi siapa saja tanpa terkecuali. Dan aparat TNI bersenjata lengkap melakukan patroli keliling kampung mencari dan menangkap masyarakat yang hendak membakar ladangnya. Selain berhasil menegaskan posisi masyarakat sebagai pelaku utama penyebab kebakaran, praktik buruk korporasi akan terus dilanggengkan. Bukannya melakukan penegakan hukum kepada korporasi, Pemda lebih sibuk memfasilitasi dan meresmikan program desa siaga api yang diinisiasi oleh korporasi.
Direktur WALHI Kalimantan Timur, Fathur Raziqin mengatakan bahwa “Konflik wilayah kelola rakyat (ladang) yang bersinggungan dengan konsesi dibiarkan berlarut-larut hingga kini, hanya karena perusahaan tersebut dikenakan sanksi lalu berusaha mengkriminalisasi masyarakat di sekitar konsesi sebagai upaya pengalihan tanggungjawab terjadinya kebakaran di wilayah konsesi. Peristiwa Karhutla 2015 di Kaltim mengindikasikan lemahnya posisi pemerintah daerah dalam mengontrol aktivitas perusahaan. Tidak hanya penegakan hukum, kepatutan perusahaan pemegang konsesi juga seharunya menjadi pintu masuk untuk memperbaiki tata kelola perijinan. Sehingga moratorium yang sedang berjalan tidak sedang memberikan keistimewaan perusahaan untuk menghindarkan dari tanggunjawabnya. Dan membiarkan masyarakat berhadap-hadapan dengan perilaku buruk perusahaan”.
Dari peran dan progres  hukum terhadap pelaku kejahatan lingkungan hingga saat ini, WALHI Melihat tumpulnya fungsi hukum selain dipengaruhi oleh penyimpangan fungsi dan rendahnya kapasitas pada lembaga penegak hukum, juga dipengaruhi oleh terbentuknya celah penghentian proses pada tahapan proses hukum karena proses penyelidikan, penyidikan hingga tuntutan terpisah pada lembaga yang berbeda.
“SP3 kasus tersangka 15 korporasi di Riau menunjukkan melemahnya komitmen negara melawan asap dan menjadi preseden yang buruk terhadap kinerja penegakan hukum untuk menuntaskan persoalan asap yang terjadi selama ini. SP3 kepada korporasi ini menunjukkan penegak hukum takluk kepada pemodal dan di mata publik sekali lagi terbukti bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas”, tegas Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau.
Lemahnya sistem, materi dan sumberdaya penegakan hukum di Indonesia terhadap white coral crime dalam kasus karhutla terlihat gamblang pada arah penegakan hukum yang menyasar masyarakat kecil dan pengaburan proses terhadap korporasi dalam bentuk SP3 kasus kasus pembakaran lahan oleh perusahaan. Proses SP3 massal oleh Polda Riau terhadap korporasi bukan kali ini saja, tahun 2008 yang lalu, SP3 juga diterbitkan terhadap 14 perusahaan pelaku Illegal Loging di Riau, bahkan 3 dari 14 perusahaan tersebut tahun 2015 ini menjadi bagian dari 15 Perusahaan yang mendapat SP3 dalam kasus pembakaran hutan.
“Penegakan hukum kepada korporasi yang sengaja membakar ataupun lahannya terbakar di Kalimantan Barat belum dilakukan dengan serius. Selain persoalan rendahnya kapasitas penegak hukum dalam menemukan alat bukti yang selalu saja menjadi alasan penghentian penyidikan dan penyelidikan kasus karhutla, tidak adanya komitmen penegakkan hukum kepada korporasi adalah refleksi dari tidak adanya niat negara untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit dan investasi skala besar berbasis hutan dan lahan”, demikian disampaikan Direktur WALHI Kalbar, Anton Priyani Widjaya.
Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan menyatakan “lemahnya penegakan hukum terhdap korporasi, khususnya group-group besar. Dari data yang diolah WALHI Sumsel menunjukkan bahwa Aparat penegak hukum baik Kepolisian maupun KLHK sampai saat ini hanya bertaring kepada masyarakat/Individu namun menjadi macan Ompong ketika berhadapan dengan Koorporasi (38 kasus ditangani Polda 26 kasus adalah kasus individu). Contoh kasus Pembakaran hutan seluas 280.999 Hektar yang melibatkan 4 korporasi besar milik Asia Pulp and Paper (APP) di kabupaten OKI dan Kabupaten Musi Banyuasin sampai saat ini tidak tersentuh hukum dan diberi sanksi, baik administrasi, pidana maupun perdata”. Menolak polusi asap kebakaran hutan dan lahan namun tak bernyali menegakan hukum lingkungan terhadap korporasi adalah bentuk kekerasan dan Kejahatan lingkungan sesungguhnya.
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI bahwa “komitmen Presiden untuk review perizinan, penegakan hukum, pemulihan dan pengakuan wilayah kelola rakyat tidak mampu diterjemahkan secara benar oleh Kementerian dan Lembaga Negara terkait, termasuk aparat penegak hukum dan lembaga peradilan. Dengan situasi seperti ini, kami mendesak Presiden memimpin langsung penanganan kebakaran hutan dan lahan, khususnya dalam upaya menjerat kejahatan korporasi sesuai dengan komitmennya”.
Dalam hampir dipastikan penegakan hukum pada kejahatan korporasi dalam kebakaran hutan dan lahan gambut berwajah buram, jika upaya penegakan hukum hanya dilakukan secara normatif seperti selama ini. Sehingga diperlukan sebuah terobosan hukum yang dapat menjangkau kejahatan korporasi yang selama ini justru menunggangi kekuasaan atau pengurus negara, termasuk aparat penegak hukum dan pengadilan”. KPK bisa mengambil peran ini dengan menarik korporasi sebagai pelaku dalam kasus-kasus korupsi di sektor SDA yang merugikan negara, rakyat dan lingkungan hidup”.
“Hal yang lain, salah satu terobosan hukum antara lain melalui pengadilan lingkungan hidup, sebuah pengadilan yang khusus yang dibentuk dengan aparat penegak hukum dan peradilan yang memiliki perspektif lingkungan hidup dan kapasitas yang mumpuni dalam menangani tindak kejahatan korporasi, khususnya group-group perusahaan perkebunan baik sawit maupun HTI”, tutup Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi.  (selesai)
Jakarta, 24 Agustus 2016

Contact Person:
  1. Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Kajian, Pembelaan dan Pengembangan Hukum Lingkungan Eksekutif Nasional WALHI di 081384502601
  2.  Anton P Widjaya, Direktur WALHI Kalbar di 0811574476
  3. Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau di 081371302269
  4. Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel di 08127312042
  5. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi 08117463789
  6. Kisworo, Direktur WALHI Kalsel di 081348551100

Catatan untuk Editor:
  1. Di Provinsi Riau, justru 15 Perusahaan di-SP3 oleh Polda Riau pada tahun 2016, setelah kemarahan publik reda oleh proses dan janji hukum tahun 2015. Dari 15 perusahaan yang di-SP3 ini terdiri dari 9 perusahaan HTI, 3 Perusahaan sawit dan 3 perusahaan HPH.
  2. Di Sumatera Selatan berdasarkan data Walhi Sumsel dari 20 Perusahaan HTI dan 70 perusahaan Perkebunan yang pada tahun 2015 lalu melakukan pembakaran Hutan dan lahan hanya 12 kasus yang  di proses hukum. 2 kasus Perusahaan HTI, 10 Kasus lainnya Perusahaan perkebunan. Terkait tahapan hukum dari 12 koorporasi tersebut 3 Perusahaan penyelidikan, 8 Perusahaan Penyidikan sedangkan 1 Perusahaan yaitu PT. PSM yang berada di Kabupaten OKI dilakukan SP3 dengan alasan tidak cukup Bukti. Untuk kasus yang ditangani oleh KLHK hanya 1 Kasus yang masuk pengadilan yaitu Pembakaran yang dilakukan oleh PT. Way Agro Jaya (WAJ) yang berada di kabupaten OKI
  3. Provinsi Jambi, dari kebakaran yang melanda 7 kabupaten di Jambi, melibatkan 46 perusahaan sawit, dari  23 laporan yang masuk di Polda Jambi, proses hukum berjalan terhadap 27 kasus perseorangan yang kini sudah masuk proses persidangan dan 6 perusahaan dalam proses penyidikan.
  4. Di Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Barat melakukan penyelidikan terhadap 35 perusahaan pada tahun 2015, yang menyasar 31 tersangka perseorangan dan 4 penyelidikan terhadap korporasi  12 berkas sudah diserahkan ke Kejaksaan, 4 berkas sudah dinyatakan P-21 sedangkan 7 lainnya  masih dalam tahap penelitian berkas perkara oleh Kejaksaan. Sedangkan 4 kasus mendapatkan surat penghentian penyidikan (SP3) oleh Polda Kalimantan Barat yang meliputi 1 Perusahaan dan 3 individu di SP3 oleh Polda Kalimatan Barat.
  5. Di Kalimantan Timur, salah satu perusahaan HTI yang dijatuhkan sanksi paksaan oleh KLHK dalam Karhutla 2015 PT ITCI Hutani Manunggal (IHM), sanksi paksaan oleh KLHK untuk wilayah konsesi mereka yang terjadi kebakaran di areal konsesi yang berada di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara. Sementara itu dalam bulan yang sama (november 2015), PT IHM melaporkan 2 (dua) masyarakat Desa Lung Anai dengan ke Polres Kutai Kartanegara dengan tuduhan membakar konsesi mereka di wilayah Kutai Kartanegera. Akibatnya, 2 warga tersebut hingga kini dijerat oleh Polres Kukar dengan UU 41 Tahun 1999



Artikel Terkait:

0 komentar: